Ahlan wa Sahlan Sahabat FSI Al-Biruni..

KALIMAH FT, "Peran Mahasiswa Muslimah"

(04/04/2014) Setelah vakum beberapa minggu, akhirnya KALIMAH (Kajian Muslimah) FT hadir lagi. Kali ini dibawakan oleh pembicara yang luar biasa, kak Yuana Dwi H, seorang muslimah dari kaderisasi BEM FT 2013.

FT memang sedang diguyur hujan dan banjir siang itu, namun ternyata tak menyurutkan semangat para muslimah FT untuk menuntut ilmu. Mereka ingin tahu seperti apa peran muslimah sebagai mahasiswa.

“Kewajiban muslimah itu dibagi menjadi dua, yaitu sebelum dan sesudah menikah.” Ucap kak Nana. Sebelum menikah salah satunya adalah menuntut ilmu. Jika ingin menjadi muslimah sejati, rajin-rajinlah mendatangi majelis ilmu. Tidak hanya ilmu agama, tapi kuliah pun juga disebut majelis ilmu. Maka sudah seharusnya kita kuliah tidak hanya karena memenuhi kewajiban orang tua, tapi karena mengharap ridha Allah dan bertambahnya pengetahuan kita.

“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadillah : 11)

Kedua, agar menjadi mahasiswa yang aktif adalah kenali potensi diri. Optimalkan kemampuan yang kita miliki. Misalnya hobi memasak, asah terus hobimu itu agar menghasilkan masakan yang lezat. Hobi menulis, kembangkan terus dan ikuti training-traini
ng tentang kepenulisan agar suatu saat bisa membuat buku kemudian bisa berbagi ilmu pada yang lain lewat buku itu.
Ketiga, pandai memanage diri. Seorang muslimah, adalah ia yang pandai mengatur waktu. Terlebih lagi jika aktif organisasi, ia harus mengerti kapan saatnya belajar dan kapan saatnya mengerjakan tugas organisasi.

Keempat, membangun diri yang tangguh dan militan. Muslimah memang lembut, tapi bukan lemah. Jadikan diri kita adalah muslimah yang tidak mudah rapuh dan putus asa. Tapi menjadi muslimah yang selalu melihat peluang keberhasilan. Dan optimis bisa mencapainya dengan ikhtiar, doa, dan tawakal. (H/NE)





Nantikan KALIMAH selanjutnya, setiap jum'at siang di FSI Al-Biruni  
*acara ini gratis dan terbuka untuk semua muslimah Fakultas Teknik*

~"Barangsiapa berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan ke surga" (HR. Muslim)~

Kriteria Pemimpin






Oleh: Hamid Fahmi Zarkasy

“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang menyandangnya hina 
dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha
dan menunaikan tugasnya dengan baik.” 

Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau. Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi perduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti.  Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.

Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan terpercaya. “Sesunguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashas :26)

Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yususf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).

Nabi pun konsisten dengan kriterianya.  Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum mamadahi. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.

Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadith yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Zar tidak diberi jabatan oleh Nabi.

Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar,  menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya  (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.

Dari kriteria di atas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang muslim dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qraradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika ia tidak memahami syariah.

Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Allah dan berkhidmat kepada masyarakat. Untuk beribadah diperlukan ilmu dan iman, untuk berkhidmat diperlukan ilmu untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab “Pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan materi dan akhalq serta kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga”. (HR Bukhari).

Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, perduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir  tegas  dan percaya diri.

Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya?



[Sumber : hamidfahmy.com, via islampos]