Oleh: Hamid
Fahmi Zarkasy
“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan
menjadikan yang menyandangnya hina
dan menyesal kecuali yang mengambilnya
dengan benar (bihaqqiha)
dan menunaikan tugasnya dengan baik.”
Itulah
nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada
beliau. Sabda Nabi itu
bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi
seorang Nabi perduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga
kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas
yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria diatas
tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi
orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh
al-Qur’an harulah orang yang kuat dan terpercaya. “Sesunguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya” (al-Qashas :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja
dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat
dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai
pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi
yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena
tuntutan pekerjaannya. (Yususf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah
Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun
konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru
masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka
berdua belum mamadahi. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu
menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan
haditsnya dan banyak mendampingi rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa.
Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang
layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk
kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya,
seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu
mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil).
Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa
ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin),
pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55).
Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya
menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadith yang lain: “Sesungguhnya
Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya
(hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang
satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui
apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah
malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat
ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn
Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”.
Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Zar tidak diberi jabatan
oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam
adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan
dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai
menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas
kepemimpinannya.
Dari kriteria di atas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin
Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang muslim
dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki
jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang
disimpulkan oleh Yusuf al-Qraradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta
agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika
ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang
tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab
seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada
Allah dan berkhidmat kepada masyarakat. Untuk beribadah diperlukan ilmu dan
iman, untuk berkhidmat diperlukan ilmu untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab
“Pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan materi dan akhalq serta
kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga”. (HR Bukhari).
Kriteria
pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari
al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam
at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku
adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat
(khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak
cacat, perduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan
percaya diri.
Namun,
kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua
sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan
didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR
Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta
jabatan dan partai politiknya?
[Sumber : hamidfahmy.com,
via islampos]
0 Komentar